Mata Internet Dunia: 5 Mitos Menyesatkan tentang Imunisasi -
1. Vaksin MMR (measles, mumps, rubella) menyebabkan autisme
3. Anak sakit dilarang imunisasi
IMUNISASI sangat penting diberikan untuk bayi, untuk mencegah kemungkinan terjangkit berbagai penyakit. Sayangnya meski telah diperkenalkan sejak abad ke-20, masih banyak bayi di dunia yang belum mendapatkan imunisasi.
Dr. Widodo Judarwanto, SpA dari Children Grow Up Clinic: Allergy Clinic Online – Picky Eaters Clinic menyebutkan, setiap tahun ada sekitar 2,4 juta anak usia kurang dari 5 tahun di dunia yang meninggal karena penyakit-penyakit yang dapat dicegah vaksinasi. Di Indonesia sendiri, sekitar 7 persen
anak belum mendapatkan vaksinasi. Salah satu masalah utama yang menghambat keberhasilan program imunisasi adalah penyebaran informasi yang tidak benar dan menyesatkan mengenai imunisasi. Di luar sana, ada banyak sekali mitos mengenai imunisasi yang dapat menyesatkan para orang tua. Agar Anda tak ikut termakan mitos, berikut
1. Vaksin MMR (measles, mumps, rubella) menyebabkan autisme
[lihat.co.id] - Mitos ini muncul ketika dr. Andrew Wakefield dan timnya membuat jurnal berjudul “The Lancet”, yang menyatakan 8 dari 12 anak dalam penelitian yang mendapatkan imunisasi MMR mengalami gangguan autisme. Alhasil para orang tua panik, yang berakibat pada penurunan drastis jumlah bayi yang mendapat imunisasi MMR.
Akan tetapi pendapat ini dipatahkan penelitian Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO, yang menyatakan tidak ada kaitan antara vaksin MMR dan autisme. Yang membuat MMR menjadi kambing
hitam autisme, karena gejala autisme umumnya terlihat ketika bayi berusia 12 sampai 18 bulan, tepat saat bayi mendapatkan imunisasi MMR. Yang jelas, autisme kebanyakan dipengaruhi faktor genetik. Jadi, jangan takut memberi vaksin MMR kepada bayi Anda!
2. Vaksin tidak halal
[lihat.co.id] - Banyak orang tua, terutama kaum Muslim, memercayai mitos bahwa semua vaksin mengandung enzim tripsin pankreas babi. Yang benar, induk bibit vaksin kini telah dicuci dan dibersihkan total dari tripsin babi. Pun sangat sedikit vaksin yang pembuatannya menggunakan enzim dan lemak babi. Vaksin yang beredar di Indonesia sendiri dibuat di Indonesia di bawah pengawasan Majelis Ulama Indonesia dan BPOM.
3. Anak sakit dilarang imunisasi
[lihat.co.id] - Banyak orang tua menggagalkan imunisasi sang anak dengan alasan anak sedang sakit. Padahal, jika hanya sakit flu ringan dan demam yang tidak tinggi, imunisasi masih bisa dilakukan. Jika anak demam tinggi dan sangat rewel, pemberian imunisasi bisa ditunda satu hingga dua minggu ke depan.
Berikut ini, kondisi yang membuat bayi tidak boleh menerima imunisasi:
- Bayi yang sedang menjalani perawatan penyakit kanker dalam 6 bulan terakhir.
- Bayi yang baru menjalani operasi transplantasi organ tubuh.
- Bayi yang baru menjalani transplantasi sumsum tulang.
Berikut ini, kondisi yang membuat bayi tidak boleh menerima imunisasi:
- Bayi yang sedang menjalani perawatan penyakit kanker dalam 6 bulan terakhir.
- Bayi yang baru menjalani operasi transplantasi organ tubuh.
- Bayi yang baru menjalani transplantasi sumsum tulang.
4. Vaksin membuat anak sehat menjadi sakit
[lihat.co.id] - Anggapan ini muncul karena bayi mengalami berbagai reaksi pascaimunisasi. Demam, merah-merah, bengkak, dan gatal di area sekitar suntikan merupakan reaksi wajar setelah injeksi vaksin. Demam merupakan reaksi paling umum yang muncul pascaimunisasi. Kondisi ini bisa diatasi dengan memberikan obat penurun panas dan kompres. Tenang, gejala ini akan hilang dalam satu dua hari.
5. Imunisasi hanya dilakukan saat masih bayi
[lihat.co.id] - Banyak orang tua yang merasa, tugas memberi imunisasi selesai ketika telah memberikan imunisasi campak pada bayi usia sekitar 9 bulan. Padahal ada beberapa imunisasi yang harus diulang saat anak memasuki SD, seperti imunisasi campak, DT (difteria), dan TT (tetanus). Kurangnya pengetahuan soal jadwal imunisasi ulang membuat orang tua tidak mengimunisasi ulang anak-anak mereka. Padahal vaksin yang diberikan saat bayi kekebalannya jelas sudah berkurang.