Mata Internet Dunia: 5 Pembunuhan Misterius di Indonesia yg di Bongkar Mun'im Idries -
[lihat.co.id] - Suasana di Jakarta di malam penembakan mahasiswa Trisakti sangatlah mencekam. Pakar forensik dr. Abdul Mun'Im Idries yang ikut mengautosi menceritakan bagaimana menakutkannya keadaan saat tertembaknya empat
mahasiswa itu.
Saat kejadian, Mun'im mendapat telepon dari Kasat Serse Polres Metro Jakarta Barat Idham Aziz, untuk mengautopsi jenazah korban penembakan. Ia disuruh menunggu di pos polisi Terminal Grogol.
Selama menunggu Mun'im dihubungi oleh Kapolres Jakarta Barat, Timur Pradopo dan Kapolda Metro Jaya, Hamami Nata. Ia disuruh menunggu sebelum diperintahkan melakukan autopsi. kemudian Mun'Im pun berangkat menuju RS Sumber Waras dengan membonceng motor petugas.
Di tengah perjalanan Mun'Im merasakan keanehan. Petugas yang membawanya memilih untuk melalui jalan tikus, padahal saat itu keadaan tengah sepi dan seharusnya mereka bisa langsung lurus menuju RS Sumber Waras
"Pak dokter, kita tidak tahu siapa kawan siapa lawan. Ini semua demi keselamatan dokter," ungkap si petugas kepolisian yang mengantarnya.
Sesampainya di rumah sakit Mun'im bertemu dengan mahasiswa dan keluarga korban. Mereka semua menolak untuk diadakanya pemeriksaan bedah mayat.
Setelah Mun'im berusaha meyakinkan keluarga, akhirnya pemeriksaan pun dimulai. Setelah melakukan pemeriksaan sekitar 90 menit, Mun'im mendapatkan hasil. Masing masing mendapat luka tembak pada daerah mematikan, bukan untuk melumpuhkan.
Usai pemeriksaan, Mun'im kembali ke ruang administrasi, di sana, Mun'im bertemu dengan Marzuki Darusman dan Amaral yang pada saat itu menjabat sebagai ketua dan sekretaris jenderal Komnas HAM.
Saat bertegur sapa dengan Marzuki Darusman, dia menerima SPVR (surat permintaan Visum et Repertum) dari
kepolisian. Anehnya SPVR yang diterimanya sebanyak 6 buah sedangkan korbannya hanya ada 4. Selain itu tidak ada identitas para korban dan yang tertera hanya tanda tangan penyidik.
"Maaf pak dokter, kami tidak tahu berapa korban yang tewas dan kami juga tidak tahu nama para korban" jawab petugas Polres Jakarta Barat.
Seusai jumpa pers, pukul 4 pagi Mun'im sudah dijemput oleh petugas dari Polres Jakarta Barat. Saat Mun'im meminta untuk diantar pulang, petugas Kasat Serse Polres Metro Jakatra Barat malah mengantarnya
menuju Polda. Setibanya di Polda, di lantai pertama Mun'im berjumpa dengan Sudi Silalahi dari
Kodam V jaya, kemudian dia menuju ruang Kapolda.
Saat itu dia hanya berdua dengan Hamami Nata, kemudian Mun'im membuka pembicaraan dengan menyampaikan hasil autopsi.
"Saya sudah perintahkan kepada semua anak buah saya agar mereka tidak menggunakan peluru tajam. Mereka yang menghadapi pengunjuk rasa hanya dibekali peluru karet atau peluru hampa yang terbatas jumlahnya. Dari mana datangnya peluru ini?" Ungkap Hamami. Di situ Mun'im berpikir kalau Kapolda dikerjain.
5 Pembunuhan Misterius di Indonesia yg di Bongkar Mun'im Idries - Ada beberapa kasus pembunuhan di Indonesia yang masih menyisakan misteri. Hingga akhirnya ahli forensik Mun'im Idries membongkarnya lewat sebuah tulisan. Apa saja ceritanya?
Mun'im memang kerap dilibatkan dalam sejumlah kasus pembunuhan oleh polisi sebagai ahli forensik. Dia jadi tokoh sentral dalam proses autopsi hingga identifikasi jenazah. Tak heran, dia punya segudang cerita soal kasus-kasus tersebut.
Berikut lima misteri pembunuhan yang diungkap Mun'im dalam bukunya 'Indonesia X Files',dikutip dari news.detik:
Mun'im memang kerap dilibatkan dalam sejumlah kasus pembunuhan oleh polisi sebagai ahli forensik. Dia jadi tokoh sentral dalam proses autopsi hingga identifikasi jenazah. Tak heran, dia punya segudang cerita soal kasus-kasus tersebut.
Berikut lima misteri pembunuhan yang diungkap Mun'im dalam bukunya 'Indonesia X Files',dikutip dari news.detik:
1.Kejanggalan Kematian Marsinah
[lihat.co.id] - Kematian pejuang buruh PT Catur Putra Surya, Marsinah masih menjadi tanda tanya besar. Pakar forensik Abdul Mun'im Idries menemukan berbagai kejanggalan visum saat diminta jadi saksi ahli meringankan kasus tersebut di persidangan.
Meski sempat dilarang oleh koleganya, Mun'im saat itu tetap ngotot bersaksi. Bersama kuasa hukum bos PT CPS Judi Susanto, Trimoelja D Soerjadi, Mun'im menemukan banyak kejanggalan dalam visum.
"Visum dari RSUD Nganjuk sangat sederhana karena hanya 1 halaman," terang Mun'im di halaman 27.
Meski jenazah Marsinah sudah dibedah, tapi tidak dijumpai laporan keadaan kepala, leher dan dada korban. Di dalam visum juga disebutkan Marsinah tewas akibat pendarahan dalam rongga perut.
"Padahal yang seharusnya diutarakan pembuat visum adalah penyebab kematian (tusukan, tembakan, cekikan), bukan mekanisme kematian (pendarahan, mati lemas," papar Mun'im.
Fakta persidangan juga menyebut Marsinah ditusuk kemaluannya dalam waktu yang berbeda. Tapi dalam visum, hanya ada 1 luka, pada labia minora.
"Kejanggalan makin jelas ketika barang bukti yang dipakai menusuk kemaluan korban ternyata lebih besar dari ukuran luka," sambungnya lagi.
Beberapa visum lainnya juga terus disoroti oleh Mun'im. Ia menduga pembuatan visum atau lazim disebut visum et repertum itu dilakukan di luar kelaziman.
"Kematian Marsinah seperti selalu ada yang kurang," tandasnya.
Meski sempat dilarang oleh koleganya, Mun'im saat itu tetap ngotot bersaksi. Bersama kuasa hukum bos PT CPS Judi Susanto, Trimoelja D Soerjadi, Mun'im menemukan banyak kejanggalan dalam visum.
"Visum dari RSUD Nganjuk sangat sederhana karena hanya 1 halaman," terang Mun'im di halaman 27.
Meski jenazah Marsinah sudah dibedah, tapi tidak dijumpai laporan keadaan kepala, leher dan dada korban. Di dalam visum juga disebutkan Marsinah tewas akibat pendarahan dalam rongga perut.
"Padahal yang seharusnya diutarakan pembuat visum adalah penyebab kematian (tusukan, tembakan, cekikan), bukan mekanisme kematian (pendarahan, mati lemas," papar Mun'im.
Fakta persidangan juga menyebut Marsinah ditusuk kemaluannya dalam waktu yang berbeda. Tapi dalam visum, hanya ada 1 luka, pada labia minora.
"Kejanggalan makin jelas ketika barang bukti yang dipakai menusuk kemaluan korban ternyata lebih besar dari ukuran luka," sambungnya lagi.
Beberapa visum lainnya juga terus disoroti oleh Mun'im. Ia menduga pembuatan visum atau lazim disebut visum et repertum itu dilakukan di luar kelaziman.
"Kematian Marsinah seperti selalu ada yang kurang," tandasnya.
2.Misteri Kematian Mahasiswa Trisakti
[lihat.co.id] - Suasana di Jakarta di malam penembakan mahasiswa Trisakti sangatlah mencekam. Pakar forensik dr. Abdul Mun'Im Idries yang ikut mengautosi menceritakan bagaimana menakutkannya keadaan saat tertembaknya empat
mahasiswa itu.
Saat kejadian, Mun'im mendapat telepon dari Kasat Serse Polres Metro Jakarta Barat Idham Aziz, untuk mengautopsi jenazah korban penembakan. Ia disuruh menunggu di pos polisi Terminal Grogol.
Selama menunggu Mun'im dihubungi oleh Kapolres Jakarta Barat, Timur Pradopo dan Kapolda Metro Jaya, Hamami Nata. Ia disuruh menunggu sebelum diperintahkan melakukan autopsi. kemudian Mun'Im pun berangkat menuju RS Sumber Waras dengan membonceng motor petugas.
Di tengah perjalanan Mun'Im merasakan keanehan. Petugas yang membawanya memilih untuk melalui jalan tikus, padahal saat itu keadaan tengah sepi dan seharusnya mereka bisa langsung lurus menuju RS Sumber Waras
"Pak dokter, kita tidak tahu siapa kawan siapa lawan. Ini semua demi keselamatan dokter," ungkap si petugas kepolisian yang mengantarnya.
Sesampainya di rumah sakit Mun'im bertemu dengan mahasiswa dan keluarga korban. Mereka semua menolak untuk diadakanya pemeriksaan bedah mayat.
Setelah Mun'im berusaha meyakinkan keluarga, akhirnya pemeriksaan pun dimulai. Setelah melakukan pemeriksaan sekitar 90 menit, Mun'im mendapatkan hasil. Masing masing mendapat luka tembak pada daerah mematikan, bukan untuk melumpuhkan.
Usai pemeriksaan, Mun'im kembali ke ruang administrasi, di sana, Mun'im bertemu dengan Marzuki Darusman dan Amaral yang pada saat itu menjabat sebagai ketua dan sekretaris jenderal Komnas HAM.
Saat bertegur sapa dengan Marzuki Darusman, dia menerima SPVR (surat permintaan Visum et Repertum) dari
kepolisian. Anehnya SPVR yang diterimanya sebanyak 6 buah sedangkan korbannya hanya ada 4. Selain itu tidak ada identitas para korban dan yang tertera hanya tanda tangan penyidik.
"Maaf pak dokter, kami tidak tahu berapa korban yang tewas dan kami juga tidak tahu nama para korban" jawab petugas Polres Jakarta Barat.
Seusai jumpa pers, pukul 4 pagi Mun'im sudah dijemput oleh petugas dari Polres Jakarta Barat. Saat Mun'im meminta untuk diantar pulang, petugas Kasat Serse Polres Metro Jakatra Barat malah mengantarnya
menuju Polda. Setibanya di Polda, di lantai pertama Mun'im berjumpa dengan Sudi Silalahi dari
Kodam V jaya, kemudian dia menuju ruang Kapolda.
Saat itu dia hanya berdua dengan Hamami Nata, kemudian Mun'im membuka pembicaraan dengan menyampaikan hasil autopsi.
"Saya sudah perintahkan kepada semua anak buah saya agar mereka tidak menggunakan peluru tajam. Mereka yang menghadapi pengunjuk rasa hanya dibekali peluru karet atau peluru hampa yang terbatas jumlahnya. Dari mana datangnya peluru ini?" Ungkap Hamami. Di situ Mun'im berpikir kalau Kapolda dikerjain.
3.Misteri Peluru Nasrudin
[lihat.co.id] - Kematian pengusaha Nasrudin Zulkarnaen juga tidak luput dari autopsi pakar forensik Abdul Mun'im Idries. Dalam proses penyelidikan, polisi ternyata pernah meminta agar Mun'im menghapus data penjelasan jenis peluru yang menewaskan Nasrudin.
"Saya pernah menjelaskan bahwa jenis peluru yang bersarang di Nasrudin memiliki diameter 9 mm, kaliber 0,38 tipe S & W, tapi saat itu diminta dihapus oleh polisi," tulis Mun'im di halaman 74.
Usai ditembak, Nasrudin memang sempat mendapat pertolongan ke RS Mayapada Tangerang da RSPAD Gatot Subroto. Inilah yang membuat Mun'im menegaskan adanya manipulasi jasad korban.
Untuk mengautopsi jenazah Nasrudin, Mun'im juga mengaku ditelepon oleh tiga polisi. Yang terakhir seseorang berpangkat Komjen untuk meminta kesediaanya melakukan autopsi.
Mun'im yang mengikuti seluruh proses persidangan sembilan terdakwa sebagai saksi ahli mengaku awalnya tidak tahu ada nama Rani. "Tidak lama kemudian baru nama Rani keluar. Dari situ saya mengerti tentang pola permainan ini," tandasnya.
"Saya pernah menjelaskan bahwa jenis peluru yang bersarang di Nasrudin memiliki diameter 9 mm, kaliber 0,38 tipe S & W, tapi saat itu diminta dihapus oleh polisi," tulis Mun'im di halaman 74.
Usai ditembak, Nasrudin memang sempat mendapat pertolongan ke RS Mayapada Tangerang da RSPAD Gatot Subroto. Inilah yang membuat Mun'im menegaskan adanya manipulasi jasad korban.
Untuk mengautopsi jenazah Nasrudin, Mun'im juga mengaku ditelepon oleh tiga polisi. Yang terakhir seseorang berpangkat Komjen untuk meminta kesediaanya melakukan autopsi.
Mun'im yang mengikuti seluruh proses persidangan sembilan terdakwa sebagai saksi ahli mengaku awalnya tidak tahu ada nama Rani. "Tidak lama kemudian baru nama Rani keluar. Dari situ saya mengerti tentang pola permainan ini," tandasnya.
4.Munir dan Arsenik
[lihat.co.id] - Ahli forensik RSCM, Abdul Mun'im Idries ikut membantu autopsi jenazah pejuang HAM, Munir Said Thalib. Mun'im yang juga ditugaskan untuk membantu membongkar kasus itu pun membeberkan sejumlah fakta menarik.
Mun'im saat itu sempat terkejut mengetahui Munir tewas akibat diracun arsenik. Cara pelaku membunuh dengan arsenik dianggap sangat pintar.
"Kasus keracunan semacam itu terjadi tidak sampai 10 persen," tulis Mun'im di halaman 85.
Mun'im sempat menolak ajakan polisi ke Belanda untuk memastikan kematian Munir. Hasil autopsi di Belanda sudah cukup dijadikan bukti penyebab kematian Munir.
"Yang belum diketahui sampai saat ini ialah cara kematiannya (manner of death)," kenang Mun'im.
Di sinilah banyak ditemukan fakta mengejutkan. Tim polisi sempat berkesimpulan arsenik dituangkan dalam jus. Namun kesimpulan itu ditolak Mun'im karena arsenik bakal mengendap di air dingin. Ia juga memastikan kerja arsenik hanya itu bisa dirasa hanya dalam 30 menit.
Mun'im juga menduga TPF bentukan Presiden SBY tidak serius menangani kasus ini. Rapat pertama tim ini malah dipimpin oleh Wakil Direktur Tipikor.
Mun'im dan polisi kemudian mengadakan sejumlah pertemuan di Hotel Nikko untuk membahas TKP. Pencari lokasi kejadian ini merujuk analisa 30 menit miliknya.
Radar saat itu mengarah ke Cafe Bean yang ada di Bandara Changi. Sejumlah pelajar juga melihat Pollycarpus bersama Munir di situ.
Dalam perjalanan penyelidikan itu, Mun'im mengaku pernah dipanggil Kabareskrim Komjen Bambang Hendarso Danuri. Percakapan dengan Bambang itu dituangkan secara detail.
"Dokter, ini untuk merah putih," kata Bambang saat itu.
"Loh kenapa Pak?" tanya Mun'im.
"Kalau kita tidak bisa memasukan seseorang ke dalam tahanan sebagai pelaku, dana dari luar negeri tidak cair. Karena dia tokoh HAM. Kemudian obligasi kita tidak laku Dok," papar Bambang.
Mun'im yakin, gejala maag yang dirasakan Munir di dalam pesawat adalah awal racun bekerja. Proses bekerjanya racun hingga akhirnya Munir ditemukan tewas di atas langit Rumania match dengan TKP di Cafe Bean.
Mun'im juga membagi TKP dalam tiga bagian: perencanaan, eksekusi dan saat wafat. Kejanggalan utama adalah penunjukan Pollycarpus yang ditugas Dirut Garuda saat itu, Indra Setiawan untuk mencari tahu penyebab insiden Boeing 747 Singapura-Amsterdam beberapa waktu sebelum Munir tewas.
Aneh karena seorang pilot Airbus 330 ditugasi untuk mengecek kenapa roda pendaratan pesawat saat itu macet. Jika urusan roda yang ingin diselidiki, kenapa bukan mekanik yang dikirim.
Hal lain, CCTV Bandara Soekarno-Hatta saat itu hanya dua saja yang aktif. Pesawat yang ditumpangi Munir ke Changi juga terus mengalami delay. Belakangan diketahui delay itu karena sedang menunggu pesawat Garuda dari Singapura.
"Pesawat tersebut berisi Pollycarpus," tegas Mun'im.
Pollycarpus memang sudah dipenjara. Namun Mun'im sendiri menuliskan masih banyak misteri dalam kasus ini.
Mun'im saat itu sempat terkejut mengetahui Munir tewas akibat diracun arsenik. Cara pelaku membunuh dengan arsenik dianggap sangat pintar.
"Kasus keracunan semacam itu terjadi tidak sampai 10 persen," tulis Mun'im di halaman 85.
Mun'im sempat menolak ajakan polisi ke Belanda untuk memastikan kematian Munir. Hasil autopsi di Belanda sudah cukup dijadikan bukti penyebab kematian Munir.
"Yang belum diketahui sampai saat ini ialah cara kematiannya (manner of death)," kenang Mun'im.
Di sinilah banyak ditemukan fakta mengejutkan. Tim polisi sempat berkesimpulan arsenik dituangkan dalam jus. Namun kesimpulan itu ditolak Mun'im karena arsenik bakal mengendap di air dingin. Ia juga memastikan kerja arsenik hanya itu bisa dirasa hanya dalam 30 menit.
Mun'im juga menduga TPF bentukan Presiden SBY tidak serius menangani kasus ini. Rapat pertama tim ini malah dipimpin oleh Wakil Direktur Tipikor.
Mun'im dan polisi kemudian mengadakan sejumlah pertemuan di Hotel Nikko untuk membahas TKP. Pencari lokasi kejadian ini merujuk analisa 30 menit miliknya.
Radar saat itu mengarah ke Cafe Bean yang ada di Bandara Changi. Sejumlah pelajar juga melihat Pollycarpus bersama Munir di situ.
Dalam perjalanan penyelidikan itu, Mun'im mengaku pernah dipanggil Kabareskrim Komjen Bambang Hendarso Danuri. Percakapan dengan Bambang itu dituangkan secara detail.
"Dokter, ini untuk merah putih," kata Bambang saat itu.
"Loh kenapa Pak?" tanya Mun'im.
"Kalau kita tidak bisa memasukan seseorang ke dalam tahanan sebagai pelaku, dana dari luar negeri tidak cair. Karena dia tokoh HAM. Kemudian obligasi kita tidak laku Dok," papar Bambang.
Mun'im yakin, gejala maag yang dirasakan Munir di dalam pesawat adalah awal racun bekerja. Proses bekerjanya racun hingga akhirnya Munir ditemukan tewas di atas langit Rumania match dengan TKP di Cafe Bean.
Mun'im juga membagi TKP dalam tiga bagian: perencanaan, eksekusi dan saat wafat. Kejanggalan utama adalah penunjukan Pollycarpus yang ditugas Dirut Garuda saat itu, Indra Setiawan untuk mencari tahu penyebab insiden Boeing 747 Singapura-Amsterdam beberapa waktu sebelum Munir tewas.
Aneh karena seorang pilot Airbus 330 ditugasi untuk mengecek kenapa roda pendaratan pesawat saat itu macet. Jika urusan roda yang ingin diselidiki, kenapa bukan mekanik yang dikirim.
Hal lain, CCTV Bandara Soekarno-Hatta saat itu hanya dua saja yang aktif. Pesawat yang ditumpangi Munir ke Changi juga terus mengalami delay. Belakangan diketahui delay itu karena sedang menunggu pesawat Garuda dari Singapura.
"Pesawat tersebut berisi Pollycarpus," tegas Mun'im.
Pollycarpus memang sudah dipenjara. Namun Mun'im sendiri menuliskan masih banyak misteri dalam kasus ini.
5.Detik-detik Kematian Bung Karno
[lihat.co.id] - Mun'im Idries punya versi sendiri perihal meninggalnya Presiden Soekarno. Masa pengasingan Soekarno diduga kuat menjadi penyebab turunnya terus kesehatan sang proklamator kawakan tersebut.
"Kondisi kesehatan yang jelek dan tidak mendapat perawatan yang seharusnya, tidak adanya atensi, serta pudarnya eksistensi merupakan penjelasan yang rasional," tulis Mun'im di halaman 46.
Dalam bukunya itu, Mun'im memang mengutip pernyataan dari istri Soekarno, Ratna Sari Dewi. Ratna saat itu menyebut Bung Karno meninggal karena terus menerus diberi obat tidur.
"Beliau (Ratna) bukan dokter sehingga secara keilmuan beliau tidak memiliki otoritas," kata Mun'im menanggapi pernyataan Ratna.
Dokter nyentrik ini justru lebih setuju dengan dokter yang merawat Soekarno, dr Hartanto dan Rachmawati Soekarnoputri. Keduanya kompak mengatakan Soekarno memiliki masalah dengan ginjal.
Bahkan Soekarno sendiri sudah melakukan operasi pengangkatan ginjal di Wina tahun 1960. Fungsi ginjal Soekarno hanya tinggal 25 persen saja.
Mun'im menilai perlakuan yang diterima Soekarno dalam masa sakitnya itulah menjadi penyebab kematiannya. Mulai dari pengucilan, dijadikan tahanan rumah hingga menghilangkan eksistensi Soekarno adalah contohnya.
"Dengan kata lain, perlakuan orde baru terhadap Bung Karno sedikit banyak mempunya andil - kalau tidak dapat dikatakan bertanggung jawab - atas kematian penggali pancasila tersebut," tandasnya.
"Kondisi kesehatan yang jelek dan tidak mendapat perawatan yang seharusnya, tidak adanya atensi, serta pudarnya eksistensi merupakan penjelasan yang rasional," tulis Mun'im di halaman 46.
Dalam bukunya itu, Mun'im memang mengutip pernyataan dari istri Soekarno, Ratna Sari Dewi. Ratna saat itu menyebut Bung Karno meninggal karena terus menerus diberi obat tidur.
"Beliau (Ratna) bukan dokter sehingga secara keilmuan beliau tidak memiliki otoritas," kata Mun'im menanggapi pernyataan Ratna.
Dokter nyentrik ini justru lebih setuju dengan dokter yang merawat Soekarno, dr Hartanto dan Rachmawati Soekarnoputri. Keduanya kompak mengatakan Soekarno memiliki masalah dengan ginjal.
Bahkan Soekarno sendiri sudah melakukan operasi pengangkatan ginjal di Wina tahun 1960. Fungsi ginjal Soekarno hanya tinggal 25 persen saja.
Mun'im menilai perlakuan yang diterima Soekarno dalam masa sakitnya itulah menjadi penyebab kematiannya. Mulai dari pengucilan, dijadikan tahanan rumah hingga menghilangkan eksistensi Soekarno adalah contohnya.
"Dengan kata lain, perlakuan orde baru terhadap Bung Karno sedikit banyak mempunya andil - kalau tidak dapat dikatakan bertanggung jawab - atas kematian penggali pancasila tersebut," tandasnya.